Sejarah dan Perkembangan Teknologi 3D
Banyaknya film impor berformat 3D tampaknya mempengaruhi
perfilman nasional juga. Dua film 3D buatan Indonesia sudah muncul: Jendral
Kancil dan Petualangan
Singa Pemberani. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang tekonologi 3D
ini, ada baiknya kita mulai melihat sejarah awal dan perkembangannya.
Teknologi 3D sebenarnya sudah muncul tak lama sejak
teknologi fotografi muncul pertama kali. Pada tahun 1856, JC d’Almeida
memberikan demonstrasi di Academie de Sciences tentang gambar-gambar
stereoscopik (dua gambar foto yang sama dengan perspektif sedikit berbeda satu
sama lain berjarak sekitar dua setengah inci yang merepresentasikan jarak
antara kedua mata manusia) yang diproyeksikan secara bergantian dengan cepat
melalui slides cahaya lentera berwarna merah dan hijau.
Sementara itu penonton memakai kaca mata merah dan hijau sehingga mereka bisa
melihat gambar foto itu secara tiga dimensi.
Setelah itu pada tahun 1890an, Ducos du Hauron mematenkan
temuannya berupa dua warna, sistem anaglyph: dua lembar film
positif transparan stereoscopik di-superimpose (ditumpuk). Ketika
diproyeksikan, penonton bisa melihat efek tiga dimensi dengan memakai kacamataanaglyph (lensa
merah di satu sisi dan lensa biru di sisi yang lain). Pada masa sekarang kaca
mata anaglyph memakai lensa merah dan cyan.
Pada tahun 1897, C. Grivolas mengadaptasi sistem anaglyph ini
untuk memutar film bergerak (motion pictures) secara 3D namun
pengaplikasian teknologi ini baru dipakai pertama kali untuk film layar lebar
di tahun 1922 dengan film The Power of Love yang dibuat oleh
Harry K Fairall. Secara teknis selain memakai sistem anaglyph, film
ini juga memakai dual film strip projection. Artinya, dibutuhkan
dua strip film yang diputar secara bersamaan dengan dua proyektor film sejajar.
Setelah itu banyak bermunculan film-film lain dengan format 3D sistem anaglyph yang
lain.
Anaglyph sendiri memiliki kelemahan, yaitu untuk
menghasilkan efek tiga dimensi, sistem ini melakukan pemblokiran warna-warna
tertentu dari gambar stereoscopik yang diproyeksikan ke layar untuk mendapatkan
efek 3D. Akibatnya tidak tercapai full colour. Hal ini tidak
bermasalah di zaman film hitam-putih. Ketika muncul film berwarna di tahun 1935
maka ini menjadi sebuah problem.
Sebuah gebrakan teknologi muncul ketika ilmuwan bernama
Edwin Land mematenkan temuannya berupa filter Polaroid di tahun 1932. Filter
Polaroid dibentuk dengan tumpukan lapisan-lapisan filter tipis transparan yang
dimiringkan dengan sudut tertentu untuk meniadakan silau (glare) cahaya
yang dilewati filter itu. Di kemudian hari filter ini bisa diaplikasikan untuk
teknologi 3D dan kamera instan Polaroid. Dibandingkan dengan sistem anaglyph,
Polaroid 3D (Polarized 3D) lebih baik karena prinsip kerjanya mempolarisasi
(memfilter) gelombang cahaya tertentu tanpa memblokir warna apapun agar
tercapai efek 3D ketika diproyeksikan di layar dan ditonton dengan kaca mataanaglyph.
Di Uni Soviet pada tahun 30an, seorang insinyur Rusia
berhasil menyempurnakan teknologi film 3D dengan sistem yang disebut parallax
stereogram. Sistem ini sebelumnya dikembangkan secara terpisah oleh A.
Berhtier, E. Estenave dan Frederick Ives. Tidak seperti anaglyph ataupun
polirized 3D, sistem ini berfungsi menghasilkan proyeksi gambar film tiga
dimensi tanpa penonton memakai kacamata anaglyph atau apapun.
Kekurangan sistem ini adalah apabila duduk miring atau melihat dari perspektif
yang miring maka efek stereoscopi atau 3D film itu buyar.
Masa Keemasan
Poster film Bwana Devils (1952), perintis 3D di Hollywood (Sumber: Internet) |
Tahun 1950an menjadi masa keemasan pertama bagi film 3D di
Hollywood. Perintisnya: Bwana Devils (1952). Film ini ditulis
dan disutradarai oleh Arch Oboler dan dianggap sebagai film layar lebar pertama
berwarna dengan sistem Polaroid 3D dual strip. Setelah itu banyak
muncul film-film 3D lainnya seperti Man in The Dark, House of Wax, It
Came From Outer Space, Dial M For Murder, Creature From The Black Lagoon,
Inferno, dan lain-lainnya.
Kemudian popularitas film 3D secara tak disangka
menurun. Ada beberapa faktor kenapa hal ini terjadi:
1. Distributor film beranggapan, karena film 3D menggunakan dual
strip untuk setiap pemutaran, berarti harga sewa copy film menjadi dua
kali lipat. Kenyataannya penonton tidak mau membayar harga tiket dua kali
lipat.
2. Karena memakai sistem dual stripdengan
proyektor ganda yang saling terkait, maka setiap pemutaran film harus
dipastikan gambar dari kedua proyektor sinkron setiap saat agar penonton tidak
mengalami efek pusing atau mata pegal. Hal ini sulit untuk dijaga terus-menerus
karena setelah pemutaran berkali-kali copy film dapat mengalami kerusakan di
beberapa bagian. Biasanya, proyeksionis menangani copy cacat dengan membuang
frame yang rusak. Pada dual strip, jumlah frame dan panjang print film harus
sama untuk kedua copy.
3. Di samping itu, tidak fokusnya gambar pada salah satu
proyektor akibat kecerobohan proyeksionis juga dapat membuat penonton mengalami
pusing dan mata pegal.
Akibat kendala-kendala di atas, setelah 1955, tren film 3D
cenderung menurun dan era keemasan tahun 50an berakhir.
Era Single Strip 3D Film
Setelah tahun 1955 dunia film lebih tertarik dengan format
2D widescreen yang merupakan hal baru pada waktu itu. Walaupun
demikian, film 3D tidak benar-benar total menghilang. Beberapa film masih
diproduksi dengan menggunakan format 3D di tahun 1960an sampai pertengahan
1980an. Salah satu film 3D yang terkenal di masa 60an adalah The Mask (1961)
produksi Kanada. Film ini unik karena gambar 3D hanya dipakai di beberapa
segmen saja dan sebelum segmen dimulai ada instruksi untuk penonton untuk
memakai kacamata anaglyph. Selain itu, teknik 3D mulai digunakan
dalam beberapa film porno baik jenis semi maupun hardcore. Salah
satu judul film porno format 3D yang terkenal adalah The Stewardess buatan
1970.
Perkembangan paling penting di masa ini adalah munculnya
sistem kamera baru untuk 3D yang disebut Spacevision. Spacevision adalah
inovasi oleh insinyur dan fotografer stereoskopik berlatar belakang militer
Amerika, Kolonel Bernier. Dengan bantuan Arch Oboler, sutradara Bwana
Devil, Bernier berhasil menciptakan Lensa Trioptiscope, komponen penting di
sistem Spacevision. Lensa ini berfungsi untuk menumpuk gambar kiri dan kanan
dalam satu film strip dalam proses syuting sehingga bisa dipakai satu kamera
saja dibandingkan dengan dua kamera dengan rigging khusus.
Arch Oboler memakai teknologi ini dalam film berjudul Bubble (1966).
Untuk penayangan, juga hanya digunakan satu copy film yang diputar di satu
proyektor yang memakai lensa khusus. Setelah itu banyak bermunculan sistem
kamera 3D dengan satu film strip. Salah satu yang terkenal adalah
Stereovision. Sistem single film strip memberikan kesempatan
bagi dunia perfilman untuk memproduksi film 3D dengan bujet jauh lebih rendah
dibanding sistem dual strip.
Bangkitnya Film 3D di Era Digital
Teknologi digital baik untuk pengambilan gambar (kamera),
pasca produksi maupun untuk penayangan (sistem proyektor) telah memberikan
kemudahan bagi pengadaan film 3D. Dari tahun pertengahan 1980an sampai awal
2000an berbagai film 3D banyak diproduksi namun sebagian besar tidak tayang
sebagai film komersial melainkan sebagai tontonan di wahana taman hiburan seperti
Disneyland, Universal Studios, dan sebagainya sampai munculnya sistem digital
cinemayang standar dan universal di awal 2000an.
Di tahun 2000an ini para pembuat film di Hollywood melihat
bahwa teknologi digital memberikan mereka kendali yang lebih baik dalam membuat
dan menayangkan film 3D sebagai tontonanmainstream. Sutradara James
Cameron, salah satu pelopor 3D di era digital, membuat film IMAX 3D berjudul Ghost
From Abyss di tahun 2003. Film ini adalah dokumenter tentang kapal
karam Titanic yang terkenal.
Robert Rodriguez, sutradara terkenal lainnya, membuat dua
film 3D berjudul Spy Kids 3-D: Game Over (2003) dan The
Adventure of Sharkboy and Lavagirl in 3D (2005). Kedua film
menggunakan teknologi anaglyph 3D. Setelah itu banyak film 3D
yang diproduksi namun kebanyakan merupakan film animasi seperti Polar
Express (2004), Open Season (2006), dan Ant
Bully (2006). Di tahun 2009, James Cameron kembali merilis sebuah film
3D berjudul Avatar. Film dengan budget US$ 237 juta yang sukses di
seluruh dunia ini menghasilkan uang sebesar US$ 2,782,275,172 dan menjadikan
film ini terlaris sepanjang masa sampai sekarang. Sukses ini membuat Hollywood
berlomba-lomba memproduksi film 3D dan mempercepat konversi sinema digital
secara global.
Pembuatan Film 3D Sekarang
Pembuatan film 3D pada dasarnya bisa dibagi menjadi tiga
jenis, live action, animasi, dan konversi 2D ke 3D. Pembuatan film live
action membutuhkan dua tahapan: syuting dengan kamera 3D dan pasca
produksi (editing, colorgrading, mastering, dan sebagainya). Pembuatan
animasi 3D dianggap lebih sederhana dengan menggunakan kamera virtual di
komputer dan kesalahan efek 3D lebih bisa dihindari daripada pembuatan film 3D live
action.
Konversi 2D ke 3D merupakan proses alternatif. Pengambilan
gambar dilakukan secara 2D namun dalam pasca produksi dilakukan keputusan bahwa
film juga diedarkan secara 3D. Proses konversi 2D ke 3D merupakan proses yang
sangat intensif karena dilakukan duplikasi semua frame film agar didapat gambar
ganda untuk mata kanan dan kiri sehingga biaya paska produksi membengkak.
Biasanya konversi dilakukan terhadap film-film lama yang dirilis ulang ke
format 3D seperti Nightmare Before Christmas dan Titanic (90an).
Pengambilan Gambar
Biasanya proses pengambilan gambar (optik atau digital)
memerlukan dual camera rig. Ada dua macam rig 3D
yang umum yaitu side by side dan mirror rig. Side
by side rig adalah penempatan dua kamera identik secara berdampingan.
Sistem ini lebih sederhana dibandingkan sistem mirror rig namun
mempunyai kelemahan. Rig ini hanya ideal untuk kamera kecil.
Pada kamera besar jarak kedua kamera menjadi terlalu dekat hingga bisa muncul
masalah: interocular/interaxial (perspektif paralel jarak kedua lensa dari
kedua kamera) tidak bisa cukup kecil untuk shot close up. Akibatnya
kedalaman gambar terdistorsi memanjang.
Mirror rig berhasil mengatasi masalah itu namun
mempunyai kelemahan lain: polarisasi gambar; pantulan atau refleksi pada sebuah
objek di satu mata tidak ditemukan di mata lain. Problem ini bisa dikoreksi
dengan menggunakan filter polarizer di lensa yang terdapat
pantulan. Akibatnya cahaya yang masuk ke kamera berubah.
Sistem kamera paralel dan convergence (Sumber: Internet) |
Selain menggunakan dual camera rig, ada pilihan
ketiga, yaitu dengan menggunakan satu kamera dengan sistem dua lensa. Panasonic
merupakan perusahaan pertama yang membuat kamera video digital berkualitas resolusi
HD dengan dua lensa untuk membuat film 3D. Kamera ini menjadi alternatif bagi
orang yang mau membuat film 3D dengan bujet lebih murah karena hanya
menggunakan satu kamera. Kabarnya kamera ini digunakan pertama kali untuk
membuat film Sex and Zen 3D: Extreme Ecstacy (Hongkong, 2011),
yang merupakan film semi porno 3D pertama di dunia yang dibuat dengan teknologi
digital.
Selain memilih sistem kamera yang cocok, ada dua metode yang
harus diperhatikan dalam pengambilan gambar 3D yaitu paralleldan convergence. Parallel adalah
cara mengambil dua gambar dari kamera yang perspektifnya paralel lurus ke
depan. Cara ini adalah cara yang sangat aman namun memerlukan usaha dan waktu
banyak dalam penanganan paska produksi. Convergence, adalah cara
menyilangkan perspektif kedua kamera sehingga kamera kanan mengambil gambar ke
kiri sedang kamera kiri mengambil gambar ke kanan. Hasil dari pengambilan
gambar ini lebih gampang diolah di tahap pasca produksi namun apabila terjadi over-convergence (penyilangan
berlebihan), hasil syuting sulit untuk diproses menjadi gambar 3D yang baik.
Pasca Produksi
Pengerjaan pasca produksi untuk film 3D membutuhkan
perangkat yang mendukung materi 3D. Alat-alat yang dimaksud adalah display
monitor atau proyektor, sistem color grading, dan online
editing/special effect.
Monitor atau proyektor yang digunakan harus memiliki
kemampuan untuk melihat gambar film 3D. Ada dua jenis sistem yang bisa
digunakan, aktif dan pasif. Sistem aktif adalah dengan menggunakan kacamata 3D
dari LCD (Liquid Crystal Display) yang secara berganti-gantian berkedip-kedip
antara mata kanan dan kiri. Kaca mata ini merupakan perangkat elektronik yang
terkoneksi dengan infra merah ke display monitor. Selain mahal,
kaca mata ini membutuhkan tenaga baterai dan biasanya hanya dijual sebagai satu
set dengan alat display merek yang sama dan umumnya tidak
kompatibel dengan monitor atau proyektor 3D merek lain. Sementara sistem
pasif menggunakan kaca mata polarized 3D biasa yang tidak mahal haganya dan
bisa dipakai dengan display monitor atau sistem proyektor 3D
profesional merek apa saja.
Berbagai merek alat color-grading maupun online
editing di masa sekarang memiliki fitur untuk pengerjaan film 3D yaitu
kemampuan untuk mengerjakan dua track gambar untuk mata kanan
dan mata kiri dengan mengatur axis x, y, dan z (sistem koordinat Cartesian).
Pada pengerjaan film 2D, pengaturan dimensi gambar direpresentasikan dengan
menggunakan fitur axis x dan y yang merepresentasikan panjang dan tinggi gambar
film. Sedang untuk pengerjaan film 3D ditambahkan axis y yang mengatur depth (kedalaman
persepektif) untuk mendapatkan efek tiga dimensi. Quantel Pablo merupakan salah
satu contoh merek gabungan sistem color-grading dan online
editing yang pertama keluar. Beberapa merek alat terkenal lain juga
sekarang memiliki model terbaru dengan fitur untuk 3D seperti Scratch, Davinci
Resolve, Autodesk, Nuke, dan sebagainya.
Sepasang proyektor IMAX (Sumber: Internet) |
Sistem Penayangan Sinema Digital Untuk Film 3D
Penayangan film 3D di bioskop digital memerlukan dua
proyektor interlocking atau satu proyektor dengan dua lensa.
Merek-merek proyektor terkenal yang biasa digunakan untuk sinema digital adalah
Christie, Barco, Sony, dan Kinoton.
Selain itu diperlukan alat untuk mengatur agar proyektor
optik bisa memutar film 3D. Ada beberapa merek terkenal yang membuat peralatan
ini seperti RealD, Dolby 3D, dan IMAX 3D. Real D merupakan sistem 3D bioskop
yang paling banyak digunakan pada saat ini karena efek tiga dimensi yang
dihasilkan tetap stabil walaupun penonton melihat dalam posisi kepala mendongak
atau menunduk. Ini disebabkan karena teknologi circular polarization yang
ada di lensa kaca mata dan sebuah perangkat untuk mengatur pencahayaan yang
dipasang di proyektor optik. Selain itu dari faktor ekonomis, harga kaca mata circular
polarization lebih murah daripada kaca mata berteknologi lain seperti
LCD.
Dolby 3D memakai teknologi colorwheel yang
memiliki sejumlah filter berwarna yang berfungsi mentransmisikan gambar dengan
berbagai level gelombang cahaya untuk menampilkan efek gambar 3D. Metode ini
disebut wavelength multiplex visualization. Kaca mata untuk sistem
Dolby 3D lebih mahal dari buatan RealD dan rapuh. Namun kelebihan Dolby 3D
dibanding kompetitor seperti RealD adalah bisa berfungsi di proyektor
konvensional.
IMAX 3D adalah perusahaan di bidang teknologi bioskop yang
awalnya berkecimpung dalam pengambilan gambar dan penayangan film dengan
format film resolusi lebih tinggi dari 35mm, yaitu 65mm film negatif dengan
kamera IMAX dan 70mm proyektor IMAX untuk penayangan. Karena resolusi yang
dihasilkan sistem ini besar maka ukuran layar bioskop IMAX berukuran sangat
besar dibandingkan di bioskop konvensional. IMAX sudah terlibat dalam
penanganan 3D sejak zaman analog dengan membuat proyektor untuk copy film 70mm
dengan dua lensa yang berjarak 64mm (jarak rata-rata antara kedua mata
manusia). Ketika IMAX mulai menggunakan teknologi digital di tahun 2008, mereka
mendapatkan bahwa resolusi yang dihasilkan oleh dua proyektor 2K tidak bisa
menyamai kualitas print 70mm analog. Mereka menemukan bahwa kualitas gambar
dari dua proyektor 2K tetap lebih rendah dari satu proyektor 4K. Semenjak 2012,
IMAX bekerja sama dengan Barco menghasilkan dua buah proyektor 4K dan menurut
laporan hasilnya cukup bagus.
Masa Depan Film 3D
Untuk perfilman Hollywood bisa dipastikan dalam waktu
beberapa tahun ke depan masih akan banyak film-film blockbuster yang
dibuatkan versi 3D untuk mendampingi format 2D. Perfilman negara-negara lain
juga akan mencoba untuk membuat beberapa produksi film tiga dimensi. Namun,
berlebihan apabila dikatakan bahwa dalam waktu dekat film 3D akan menggantikan
film 2D yang selama ini menjadi tontonan konvensional di bioskop.
Kesimpulan ini didasarkan pada catatan sejarah bahwa tren
film 3D selama ini naik dan turun dan terbukti bahwa teknologi 3D tidak
menjamin suksesnya sebuah film di pasaran. Di tahun 2011 terdapat laporan data
bahwa ada kecenderungan penurunan minat penonton terhadap film-film 3D. Sebagai
contoh, Kungfu Panda 2 mendapatkan persentase pendapatan 3D sebesar
hanya 45% di minggu pertama penayangan, lebih kecil dibandingkan Shrek
Forever After di tahun 2010 yang sebesar 60%. Film Harry
Potter and The Deadly Hallows Part 2 sendiri hanya mendapatkan
pendapatan 34% dari versi 3D.
Eksekutif Studio Dreamworks, Jeffrey Katzenberg,
menyatakan penurunan ini disebabkan karena terlalu banyaknya film 3D yang
muncul terutama dari yang dipaksakan untuk dibuatkan versi 3D, khususnya yang
diproduksi secara 2D dan di pasca produksi dikonversi ke 3D. Kritikus terkenal
Robert Ebert menyatakan bahwa dia membenci film 3D karena menurut dia film 2D
sudah memberikan efek 3D di alam pikiran penonton. Film 3D juga menurut dia
tidak menambahkan pengalaman sinematik, merupakan distraksi dan bisa
menimbulkan sakit kepala dan rasa mual.
Di Indonesia sendiri telah muncul sebuah film animasi dengan
format 3D tahun ini berjudul Jendral Kancil the Movie dan Petualangan
Singa Pemberani. Film terakhir ini juga merupakan bagian dari promosi es
krim Wall’s Paddle Pop. Tren film 3D Indonesia ke depan sepertinya tidak jelas
dengan kondisi perfilman nasional yang masih terjebak dengan masalah-masalah
klasik seperti sistem tata edar yang dianggap tidak berpihak ke perfilman
nasional, apresiasi penonton yang kurang, risiko tinggi secara finansial yang
harus ditanggung produser, pola kerja industri yang serba instan, dan
sebagainya.
0 komentar: